Setelah meletakkan kopi hangat di meja, wajah adinda – istriku, terlihat masai. Ekor matanya seakan menghakimiku. Aku tertegun mencoba meramal – mengapa sikap istriku semasai itu. Seingatku, jam-jam sebelum ini tak ada yang masam yang kucetakkan padanya. Bukankah tadi malam kami berbicara banyak tentang masa lalu kami terutama masa muda kami yang indah dengan segunung pernik-pernik asmara?
“Kakanda, indah sekali ketika itu.” Demikian adinda tadi malam mengawali nostalgia itu sambil menyengol-nyenggol bahuku.
“Betul dinda. Setiap detik yang kita lalui selalu menambahkan beberapa siung rumbai warna melankonlis membuat keindahan itu semakin indah,” balasku sembari menatap sanubarinya yang sejuk.
Bayangan nostalgia itu – bersama kabut tipis jingga merah delima dengan seribu lilin melantunkan kidung-kidung langit Tanah Batak manghaliangi biding-biding ni hauma i memandu kami terbang ke atas pelangi.
Mungkinkah cerita tadi malam tak menguas seluruh nalurinya? Kurenungi suasana itu sembari menikmati tegukan kopi. Selagi tegukan itu melintasi kerongkonganku adinda datang dengan sehelai taplak meja ditangannya. Corak masai wajahnya bertambah kusut membuat serat kecantikannya hilang-hilang tampak – buram kelabu remang-remang sulit dideskripsikan.
“Sudah duapuluh tiga taplak meja berlubang karena api rokok. Semuanya harus menjadi lap karena kalau sudah berlubang, kakanda tak pernah setuju kalau dinda memasangnya lagi. Akankah ada yang keduapuluh empat? Ketusnya meningalkanku kaku membathin melongo.
Aku menarik nafas panjang. Kusesali kebiasaan buruk yang tak pernah dapat kulepasakan: merokok. Rokokku sering menggelinding dari asbak lalu jatuh dan melubangi taplak meja. Beruntung tak menimbulkan kebakaran – semoga hal ini tak pernah terjadi. Aku berdiri menghampiri adinda tercinta, kupeluk dan kubisikkan: “Adinda, kanda berjanji tak akan melubangi taplak meja lagi.”
Mendengar itu wajahnya berseri. Seuntai sinar rembulan menghiasi senyumnya yang manja. Kedua kelopak bibirnya seakan mengajakku ke atas pelangi lagi.
Hari itu setiap toko kumasuki mencari asbak. “Saya mencari asbak yang dapat menjepit rokok,” kataku kepada setiap penjaga toko. “Menjepit rokok? Rokok kok dijepit? Apa rokoknya nggak gepeng? Alis mata mereka menjulang meloncat-lontat naik kelangit-langit ke tujuh bernada mengejekku. “Tolol, but no problem, you do not understand, tau?” Tangkisku menggerutu.
Tak sampai pukul 12.00 aku sudah menemukan asbak yang kumaksud. Kubeli beberapa buah. Sebagian buat persediaan. Sebagian lagi untuk teman-teman perokok bila ada yang mau – tapi beli dengan harga dua kali lipat.
“Adinda, lihatlah asbak ini. Mulai sekarang tak akan ada lagi taplak meja yang berlubang karena api rokok”. “Nah, begitu kanda. Rokok kakanda tak akan menggelinding lagi. Taplak meja dan benda yang mudah terbakar di sekeliling meja pasti terhindar dari serbuan api rokok”.
Aman so ha ribo ribo an.
Wajah adinda bersemi bagai taman di musim bunga. Sore menjalar dan malam di langit Simanindo berkibar-kibar bagai bendera pusaka menunggu paskibraka. Hening membuat suasana dingin merayu-rayu.
“Kanda, dinda teringat akan rokok kanda yang terjepit.”
“Mari kita ke atas pelangi lagi.”
Denpasar, Bali
0.000000
0.000000